Sabtu, 18 Juli 2009

Shinchan”; Porno atau Lucu?

Posted in Buletin Studia Tahun kedua by abu fikri on the April 16th, 2007

Shinchan, anak TK yang konyol, lugu, dungu, bandel, sering bicara jorok, tapi juga lucu dan �cerdas’ untuk ukuran anak seusianya—akhir-akhir ini kian digemari oleh anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Gambaran karakter umum tokoh dan cerita dalam serial komik Crayon Shinchan yang? coba ditampilkan oleh pengarangnya—Yoshito Usui—terbilang aneh dan nyeleneh. Itu sebabnya, kemudian muncul pro dan kontra. Gelombang tanggapan pro dan kontra atas beredarnya komik Jepang itu makin menggunung ketika cerita itu ditayangkan juga di stasiun televisi (RCTI, red).

Kuatnya gelombang protes agar komik dan tayangan film Shinchan dihentikan sampai-sampai dua harian di Ibukota merasa perlu untuk menurunkan beritanya. Bahkan majalah GAMMA dalam salah satu edisinya menempatkan kasus Crayon Shinchan ini sebagai laporan utamanya. Bener-bener heboh.

Pro-kontra itu sendiri sebenarnya beralasan juga. Gimana nggak, komik yang biasanya identik sebagai bacaan anak-anak, ternyata isinya justru �dewasa’. Yang pro, adalah mereka yang mengatakan bahwa tak selamanya komik itu konsumsi anak-anak. Alasan lainnya, justru komik itu bertujuan untuk menyindir kelakuan orang dewasa yang sering menyepelekan anak-anak. Padahal dalam keadaan tertentu ada juga anak yang menurutnya cerdas—yang sebenarnya hanya bicara sesuai �alamnya’. Nah, para pendukung ini juga kemudian melontarkan pernyataan, bahwa di negeri asalnya, komik ini memang bukan untuk anak-anak, tapi untuk orang dewasa. Karena katanya di Jepang maupun di Amerika, orang dewasa pun menyenangi komik dan sekaligus film kartun.

Komik dan cerita karya Yoshito Usui, 42 tahun, sebenarnya ditujukan untuk pembaca dewasa. “Istilahnya salary (bergaji) man,” tutur Masashi Nakano, salah seorang manager di Futaba Sha Ltd., penerbit Crayon Shinchan. Selain dalam bentuk komik, cerita Crayon Shinchan hingga kini dimuat berseri dalam majalah Shukan Manga Action (majalah mingguan komik aksi) yang beroplah 250.000. Komik Crayon Shinchan karya Yoshito Usui pertama kali diterbitkan oleh Futaba Sha Publishers Ltd., Tokyo, Jepang, tahun 1992. Hak terjemahannya di Indonesia dipegang PT Indorestu Pacific, yang beralamatkan PO Box 4633, Jakarta. Cetakan pertamanya tertulis Februari 2000. Sampai saat ini di pasaran, sudah beredar delapan edisi komik Crayon Shinchan. (GAMMA Edisi 47, 23 Januari 2001)

Bagi yang kontra, alasannya adalah karena komik ini semakin melengkapi daftar bacaan bermasalah, khususnya bagi anak-anak. Karena meski ada �label’ bahwa komik ini untuk dewasa, nggak ada jaminan juga bila kemudian dibeli dan dibaca oleh anak-anak. Itu sangat dimungkinkan karena dijual bebas di toko buku (meski emang ada beberapa toko buku yang kemudian tidak menjualnya). Dan namanya juga komik, biasanya anak-anak main �embat’ aja. Kejadiannya kan begitu. Ditambah lagi dengan tayangan film kartunnya di televisi, wuih makin berabe aja tuh. Berarti di sini ada yang salah dalam menempatkan bacaan dan film. Bila melihat faktanya, batasan antara mendidik (menyindir, dan mengkritik) dengan mengumbar kerusakan jadi tipis. Bayangkan saja, banyak pembaca atau penonton Shinchan ini? mengakui bahwa Shinchan bandel, nakal, sering bicara jorok, tapi mereka seolah mentolelir hanya karena tokoh anak TK ini lucu. Wah, gimana ini?

Seperti apa yang dikatakan Joshua. “Joshua suka banget komik dan film Crayon Shinchan. Ceritanya nakal, tapi bagus. Nakalnya itu masuk akal. Memang, sih, sedikit porno, tapi justru itu yang bikin lucu. Meski demikian, enggak terlalu porno.� (GAMMA, ibidem)

Bila demikian, saatnya kita mengambil sikap tegas terhadap kasus ini. Karena terbukti pengaruhnya cukup kuat juga untuk anak-anak. Khususnya pengaruh negatif alias pengaruh buruk. Jangan sampe deh. Nah, sebagai remaja, kita juga kudu peduli dong dengan persoalan seperti ini. Jangan cuek bebek aja. Salah-salah malah menimpa adik kita. Iya nggak? Kan berabe tuh. Dan bila boleh menggunakan standar untung-rugi, tentu kasus Shinchan ini lebih banyak berdampak merugikan. Jadi kekhawatiran para orangtua atau pemerihati anak terhadap komik dan film Shinchan ini memang beralasan. Iya nggak Brur?

Porno atau lucu?
Komik dan film Crayon Shinchan memang keterlaluan. Gimana nggak, tokoh film kartun dan komik itu digambarkan sebagai sosok anak TK yang nakal, bandel, juga porno. Hanya saja, karena kemudian diselimuti dengan kelucuan, akhirnya sikap jeleknya itu jadi nggak terlihat. Itu sebabnya sebagian orang malah memaafkan dan menganggap wajar. Ini kan aneh bin ajaib. Malah ada juga yang kemudian mengatakan bahwa sebenarnya komik atau film kartun itu nggak porno. Contohnya pendapat Mas Arswendo Atmowiloto—penulis skenario Keluarga Cemara. Baginya, komik Crayon Shinchan tidaklah porno. “Komik Crayon Shinchan ini dianggap porno karena yang membacanya merasa anak-anak,” kata Arswendo. Komik itu, menurut Arswendo, memang tidak pas untuk anak-anak, tapi untuk anak SMU tidak ada masalah (GAMMA, ibidem). Nah, lho? Jadi batasan porno itu gimana? Terus, kalo udah SMU jadi nggak apa-apa? Waduh, alasannya kok basi ya?

Namun, berbeda dengan mantan Pemred tabloid Monitor yang dibreidel itu, pakar sastra anak, Dr. Murti Bunanta berbicara lain. Menurut dosen fakultas sastra UI ini, komik Crayon Shinchan termasuk paling parah dan menyebalkan. Dengan kata lain, komik itu berbahaya bagi anak-anak. Nah, pendapat ini masuk akal sehat. Jelas dong, soalnya kita nggak usah (dan memang nggak perlu) memperdebatkan hal yang sudah jelas merusak. Apapun alasannya, komik Crayon Shinchan itu membahayakan bagi perkembangan kepribadian anak-anak. Nggak usahlah berlindung di balik alasan, bahwa komik dan film itu dibuat untuk mengkritik perilaku orang dewasa, atau menyindirnya. Tapi caranya itu lho. Kita nggak sreg. Bukan apa-apa, membenarkan yang salah itu kan bukan berarti harus �menghalalkan’ segala cara. Pendek kata, kenapa harus membenarkan yang salah dengan cara yang salah. Aneh kan? Jelas bin ajaib!

Bagi yang udah pernah membaca komik atau menonton film kartunnya, tentu hapal banget dengan gaya dan sikap Siau Sin alias Shinchan yang punya anjing bernama Shiro (si Putih) ini. Nakal dan bandelnya nggak ketulungan. Kalau di filmnya, tokoh anak TK ini kelihatan lebih menjengkelkan. Gimana nggak, wajah Shinchan yang dungu, lugu, serta suaranya yang membuat orang kesal, tetapi sekaligus iba dan sayang (jika dilihat dalam edisi film kartun dalam bahasa aslinya). Ya, mungkin ini pesona ceritanya kali ya? Tapi walau gimana pun juga, tetep aja, itu bisa memberikan pengaruh negatif buat anak-anak, Brur.

Shinchan ini memang digambarkan pandai meng-kick balik perintah atau pernyataan guru, ortu dan teman-temannya. Ambil contoh, di salah satu kisah dalam film kartunnya, Shinchan dan kawan-kawan harus melakukan ukur badan (tinggi dan beratnya). Anehnya, tiba-tiba Shinchan minta diukur lingkar dadanya segala. Lalu dengan �polos’ anak TK ini bertanya kepada gurunya (kebetulan wanita), “Punya Bu guru ukurannya berapa?� Kontan saja gurunya murka. Belum lagi dalam edisi komiknya. Kata yang pernah baca komik itu dan komentarnya dimuat di majalah GAMMA, katanya lebih kacau dan menyebalkan. Wah, ancur deh.

Keisengan? Shinchan yang digambarkan dalam cerita itu memang di luar kebiasaan anak-anak seumurannya. Waduh, ini tentu bisa berbahaya bagi anak-anak. Soalnya, anak-anak itu kan peniru paling ulung di dunia. Nggak percaya, dalam investigasi majalah GAMMA, ada seorang anak umur 6 tahun yang sering berkomentar soal maaf—payudara. Menurut ibunya, anak ini memang doyan banget nonton Crayon Shinchan. Wah, gara-gara Shinchan atau yang lain? Ini akibatnya. Dan bisa jadi bukan hanya anak itu lho, yang kerasukan. Ampun deh bila semua anak jadi begitu.

Akhirnya, kita nggak bisa mentolelir pornografi hanya gara-gara dibungkus dengan kelucuan. Kita juga nggak bisa memaafkan kenakalan dan kejengkelan hanya karena dibalut dengan guyonan. Nah, kalo sekarang di balik, gimana kalo lucu tapi bandel, nakal, dan porno?

Bimbingan Ortu
Meski di stasiun RCTI sering muncul icon SU, BO, dan 17+, namun itu nggak cukup bila dalam keluarga tidak ditanamkan nilai-nilai dan ajaran agama dalam diri anak. Lagi pula nggak ada jaminan kan acara yang seharusnya ber-icon 17+ yang hanya boleh ditonton remaja 17 tahun ke atas ternyata ditonton pula oleh anak seumuran TK. Nggak ada jaminan itu. Apalagi untuk film kartun Shinchan ini jam tayangnya memungkinkan anak-anak terus nongkrongin. Jam 09.30 pagi, hari Minggu lagi. Wah, cocok kan? Ditambah lagi ada komiknya. Gimana nggak keteteran orangtua ngawasin anak-anaknya yang masih kecil.

Menghadapi anak-anak itu emang kerap bikin pusing kepala. Di satu sisi, anak-anak itu sedang dalam masa pertumbuhan, baik fisik maupun kejiwaannya. Berarti ortu memang harus perhatian dan ekstra ketat dalam membimbing anak-anaknya. Terutama yang masih �bau kencur’. Nah, di sisi lain, mendidik anak dengan cara otoriter; yakni segala nggak boleh tanpa ada penjelasan malah membuat anak jadi menyalahkan ortunya sendiri. Dengan demikian, berarti ortu harus bijaksana.

Kamu sendiri mungkin sering dibikin puyeng dengan kelakuan adik kamu yang masih kecil. Ada yang bandel dan nakalnya nggak ketulungan, pun ada yang baik alias nggak banyak tingkah. Biasanya ini berkaitan dengan pola pendidikan di rumahnya. Sebagai gurunya, siapa lagi kalo bukan ortunya sendiri. Kelakuan ortu di hadapan anak-anaknya yang ceroboh bin gegabah sering kali menjadi �blunder’ buat mereka sendiri. Kenapa? Karena anak adalah peniru ulung. Hal ini akan mendorong anak untuk belajar sendiri tentang kehidupannya. Jelas, bila demikian, anak ini harus diarahkan dengan benar dan baik. Lunak banget sama anak kecil—melindungi dan memanjakan tanpa alasan yang jelas—juga berakibat buruk. Begitu pula keras banget malah bikin bete anak.

Nggak jarang ada anak yang kemudian menyalahkan dan membenci ortunya. Nggak heran pula bila gaya Shinchan dalam komik dan filmnya bisa ditiru sama adik kita. Dengan alasan, karena menghadapi problem yang sama. Nah, lho. Soalnya, Shinchan (berbuat) begitu karena ibunya cerewet dan nggak memperhatikan. Terus ayahnya digambarkan nggak peduli sama anak kecil. Dan menganggap bahwa anak nggak bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan orang dewasa (seperti mencuci mobil, misalkan). Serba dilarang. Alhasil, Shinchan menjadi inspirator dan bakal dijadiin senjata bagi sebagian besar anak-anak untuk melawan ortunya. Hih, parah banget ya?

Jelas, ini memerlukan penyelesaian cepat dan tepat. Dr. Abdullah Nasih �Ulwan dalam buku Tarbiyatu al-Awlad menyebut beberapa metode pendidikan anak. Di antaranya: Pertama, pendidikan dengan keteladanan; yakni mendidik tidak hanya dengan mengajarkan, tetapi dituntut pula untuk melaksanakannya. Kedua, pendidikan dengan pembiasaan, yakni anak dibiasakan hidup dalam suasana islami, misalnya dibiasakan untuk sholat, puasa, belajar baca quran, bangun pagi, dan kebiasaan lainnya yang bisa menguatkan akhlak anak. Ketiga, pendidikan dengan nasihat, nasihat yang lembut lebih mengena ketimbang bila anak dimarahi dan dimaki. Keempat, pendidikan dengan perhatian, Nah, ortu harus ada perhatian dan dukungan kepada anak-anaknya. Kelima, pendidikan dengan memberikan hukuman dan penghargaan, hukuman itu perlu, tapi jangan sampai melukai. Begitupun dengan penghargaan terhadap kebaikan yang dilakukan, agar ia mampu untuk berbuat yang sama. Shinchan justru nggak mengajarkan dengan benar dan baik, meski pengarangnya secara tidak langsung ingin mendidik. cuma karena bebas nilai, akhirnya malah nggak karu-karuan. Shinchan memang banyak dikeluhkan oleh para orangtua karena cara �mendidiknya’ nggak pas dengan kondisi anak. Nggak usahlah kemudian beralasan bahwa itu untuk orang dewasa, bukan untuk anak-anak. Alasan itu udah basi, iya nggak?

Jadi, para ortu memang kudu waspada. Sabda Rasulullah Saw.: “Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhannya.� (HR. Bukhari)

Kita perhatikan juga firman Allah Swt.:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (iman, ilmu, dan amal), yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.â€? (QS. An-Nis?¢ [4]: 9)

Untuk menyelesaikan kasus Shinchan dan juga yang lainnya tentu tidak cukup hanya dengan membentengi keluarga saja. Sementara lingkungan dan negara masih amburadul. Perasan dan pemikirannya masih rusak. Buktinya masih memaafkan hanya gara-gara kelakuan porno, bandel dan bikin jengkelnya dibungkus dengan kelucuan. Idih, kuno banget tuh. Jadi, akan lebih aman jika Shinchan �diamankan’. Shinchan nggak baik buat perkembangan kepribadian anak-anak. Dan, negara harus bertanggung jawab, lho. Kalo nggak? Siap uwancur deh. Ih?

(Buletin Studia – No.039/Tahun 2)

Tidak ada komentar: