Sabtu, 18 Juli 2009

Rasulullah Memimpin dengan Cinta

Posted in Buletin Studia Tahun kedua by abu fikri on the April 16th, 2007

Add to Technorati Favorites

Bulan Rabiul Awwal adalah satu dari 12 bulan dalam kalender qomariah yang kayaknya kita apal banget. Bukan apa-apa, sejak masih bocah sampai sekarang, ingatan kita tentang bulan Rabiul Awwal atau bulan Maulid ini adalah soal makanan. Ngaku aja deh. Ehm.. kayaknya ada yang malu tuh. Suer, pengalaman penulis waktu masih bocah dulu emang bulan maulid ini identik dengan bagi-bagi makanan—tepatnya tuker-tukeran makanan yang kita bawa dari rumah setelah dikumpulin di masjid atawa sekolah. Biasanya, sambil nungguin jatah kue, kita duduk rapi dan tenang menyimak ceramah tentang perjalanan hidup Rasulullah saw. Mulai masa kecilnya, masa remaja, pernikahannya dengan Khadijah ra, Aisyah ra, dan istri lainnya, terus cerita ketika menerima wahyu pertama, sampai berdakwah di Mekkah, lalu hijrah ke Madinah sampai wafatnya. Waduh, kalo pak ustadz udah ceramah soal ini, kayaknya kita sampe apal betul titik-komanya. Bukan apa-apa, saking seringnya diulang-ulang, tuh! (mungkin ada yang bosen kali yee, he..he..he..)

Maaf lho, meski demikian bukan maksud kita mengecilkan peran yang ngasih ceramah. Nggak, kita nggak ada maksud menyepelekan beliau-beliau. Justru kita malah kudu berterima kasih kepada mereka yang telah mengenalkan Islam kepada kita. Utamanya kita bisa mengenal junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Nah, dalam tulisan ini kita ingin mengajak kamu supaya berpikir lebih menembus batas (ciee..ini bukan iklan, lho). Artinya, kita emang wajib tahu luar-dalam pribadi Rasulullah saw. Soalnya, ada pepatah, “tak kenal maka tak sayang�. Tul nggak? Nah, kalo kita udah mengenal seluk-beluk Rasulullah dengan detil, insya Allah kita bakal menemukan sosok beliau yang bukan hanya sebagai seorang Nabi dan Rasul, tetapi sebagai seorang pemimpin kaum muslimin yang layak diacungi jempol. Berikutnya, kita bakal menjadikan beliau sebagai teladan yang baik dalam kehidupan kita.

Teman, untuk melukiskan tentang akhlak baginda Nabi, kayaknya nggak cukup hanya dengan empat halaman buletin kecil mungil ini. Suer, nggak cukup. Sebab, pribadi yang agung dan mulia ini telah begitu banyak memberikan perubahan yang besar dalam tata kehidupan ummat manusia di dunia ini. Paling-paling cuma beberapa kejadian atau peristiwa aja yang bisa kita tulis di sini, selebihnya, kita nggak bisa melukiskan dengan kata-kata. Tentu, karena saking mulianya beliau. Sampai-sampai penulis buku Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Michael Hart, menyebutkan, �Dia (Muhammad saw.) adalah orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan manusia lebih dari Newton dan Yesus (Nabi Isa) atau siapapun di dunia ini.�

Karena itu pula, Dr. Ahmad Muhammad al-Hufy sebelum menulis Min akhlak an-Nabiy beliau bertutur penuh kerendahan hati, “Ya, Rasulullah, junjunganku! Apakah kata-kata yang tak berdaya ini mampu mengungkapkan ketinggian dan keluhuranmu? Apakah penaku yang tumpul ini dapat menggambarkan budi pekertimu yang mulia? Bagaimana mungkin setetes air akan sanggup melukiskan samudera yang luas? Bagaimana mungkin sebutir pasir akan mampu menggambarkan gunung yang tinggi? Bagaimana mungkin sepercik cahaya akan dapat bercerita tentang matahari? Sejauh yang dapat dicapai oleh sebuah pena, hanyalah isyarat tentang keluhuran martabatmu, kedudukanmu yang tinggi, dan singgasanamu yang agung.�

Itulah alasannya. Rasulullah memang sosok yang agung, mulia dan bermartabat tinggi. Agak sukar bagi kita untuk menjelaskannya dengan amat detil. Sekadar contoh, Al?® bin Ab?® Th?¢lib ra pernah ditanya sama seseorang dari kalangan Yahudi tentang akhlak Nabi. Apa reaksi Al?®? Beliau malah balik bertanya, “Lukiskan keindahan dunia ini, dan aku akan gambarkan kepada Anda tentang akhlak Nabi Muhammad saw.â€? Lelaki Yahudi itu berkata, â€?Tidak mudah bagiku.â€? Al?® menukas, “Engkau tidak mampu melukiskan keindahan dunia, padahal Allah telah menyaksikan betapa kecilnya dunia ketika berfirman, â€?Katakan, keindahan dunia itu kecil’â€? (QS an-Nis?¢ [4]: 77).

Perkataan Al?® bin Ab?® Th?¢lib ra seperti itu sekadar untuk menggambarkan bahwa akhlak Rasulullah saw. betapa tinggi dan agungnya. Sehingga sulit baginya untuk menjelaskan dengan kata-kata. Bisa dipahami emang, sebagai sosok yang mampu mengubah peradaban manusia, mana mungkin akhlak Nabi bejat dan amburadul. Naudzubillahi mindzalik. Rasulullah saw. jelas terhindar dari sifat tercela dan rendah. Bahkan Allah memujinya dalam al-Quran:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.� (QS al-Ahzab [33]: 21)

Juga dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung (tinggi).� (QS al-Qalam [68]: 4).

Duh, mulianya engkau wahai Rasulullah!

Penuh cinta
Sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga sebagai kepala Negara Islam, Muhammad saw. tidak merasa besar kepala, apalagi sampe merendahkan orang lain. Coba, kontras banget dengan kelakuan para pemimpin kita saat ini. Tanpa kudu dijelasin lebih rinci soal kelakuan para pejabat negeri ini, kamu semua udah pada gaul banget soal ini. Kontras kan? Aji mumpung, keserakahan, sewenang-wenang, menindas rakyat, dan hal buruk lainnya acap kali menghiasi kehidupan pemimpin kita saat ini. Idih, parah banget ya? Begitulah.

Aisyah ra. bercerita tentang Rasulullah saw. setelah didesak oleh Abdullah bin Umar. Apa yang diceritakan Ummul Mukminin Aisyah ra? Beliau menceritakan sepotong kisah bersama Rasulullah saw. (Tafsir Ibnu Katsir, I: 1441): “Pada suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, “Ya, Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Rabbku.� Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat denganmu, tetapi aku senang melihatmu beribadah kepada Rabbmu.�Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar dia terisak-isak menangis. Kemudian dia duduk membaca al-Quran, juga sambil menangis sehingga air matanya membasahi janggutnya, ketika dia berbaring, air matanya mengalir lewat pipinya mambasahi bumi di bawahnya. Pada waktu fajar, Bilal datang dan masih melihat Nabi saw. menangis,�Mengapa Anda menangis, padahal Allah ampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang kemudian?� tanya Bilal. “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur. Aku menangis karena malam tadi turun ayat Ali Imran 190-191. Celakalah orang yang membaca ayat ini dan tidak memikirkannya.�

Itulah Rasulullah, sebagai seorang pemimpin beliau tetap menaruh rasa hormat pada istrinya, juga masih getol beribadah sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Bagaimana dengan kita? Hanya diri kita masing-masing yang bisa menjawab pertanyaan model begini. Semoga kitapun bisa mengikuti jejak beliau dalam urusan ini.

Muhammad sebagai seorang Nabi, Rasul, dan juga Kepala Negara, sangat dicintai dan dihormati para sahabatnya, karena beliau saw. pun mencintai dan menghormati para sahabatnya. Dikisahkan, pada peristiwa Hudaibiyah, Urwah ats-Tsaqafi mewakili kaum Quraisy untuk berunding dengan Rasulullah. Urwah terpesona dengan sikap para sahabat memperlakukan Rasulullah saw. Ketika beliau berwudhu para sahabat berebut bekas air wudhunya, dan ketika rambutnya jatuh orang berdesakan untuk mengambil rambutnya. Ketika Urwah kembali ke kaumnya: “Hai orang Quraisy, aku pernah mendatangi Kisra di kerajaannya. Aku pernah menemui Kaisar di keratonnya. Aku pernah melihat Najasy di istananya. Belum pernah aku melihat orang yang memperlakukan rajanya seperti sahabat-sahabat Muhammad memperlakukan Muhammad.� (Sirah Ibnu Hisyam, 3: 328)

Kalo sekarang? Wah, yang terjadi justru saling menghujat dan mencela. Suer, nggak ada tipe pemimpin sekarang yang seperti Rasulullah saw. Ada kisah menarik lainnya yang bisa kita simak. Diriwayatkan Abu Hurayrah (Nailul Awthar, 4: 90): “Ada seorang perempuan hitam yang pekerjaannya menyapu masjid. Pada suatu hari, Nabi saw. tidak menemukan perempuan itu. Nabi saw. menanyakan ihwalnya. Para sahabat mengatakan bahwa ia telah mati. Ketika Nabi menegur mereka kenapa tidak diberitahu, para sahabat mengatakan bahwa perempuan itu hanya orang kecil saja. Kata Nabi saw., “Tunjukkan aku kuburannya.� Di atas kuburan itu Nabi melakukan shalat untuknya.�

Aduh, mana ada pemimpin sekarang yang begitu terhadap rakyat kecil. BBM sama listrik aja udah siap-siap dinaikkan harganya. Gimana nggak nyekik kita ya? Tapi itulah kawan, betapa Rasulullah memang berakhlak mulia.

Lalu bagaimana kita menjunjung beliau?
Bulan Maulid (Rabiul Awwal) ini tentu kita nggak sekadar memperingati tanggal kelahiran beliau doang. Tapi juga kudu menghormati beliau lebih dari itu. Seperti apa?

Pertama, makna ittiba’ adalah mengikuti syariat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Firman Allah Swt.:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah� (QS al-Hasyr [59]: 7)

Kedua, syariat Islam diturunkan oleh Allah kepada seluruh manusia dengan melihat bagi kemanusiaannya. Dalam hal ini, syariat tidak mengenal perbedaan suku, bangsa, bahasa, waktu, dan tempat. Artinya, hukum Islam berlaku bagi seluruh manusia kapanpun dan di manapun. Dan tentu aja bakal cocok untuk semuanya.

Ketiga, ittiba’ Rasulullah saw. sesuai fitrah manusia. Kita perlu memahami bagaimana mengikuti Rasul dalam melakukan aktivitas kesehariannya; seperti memperlakukan pekerjanya, istri-istrinya, para sahabatnya, termasuk memimpin negara dalam berbagai urusan; politik, ekonomi, sosial, budaya, pengadilan, hukum, dan pemerintahan. Dan, kita pun insya Allah bisa menjadikan beliau sebagai teladan dalam aktivitas keseharian kita.?

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.â€? (QS Ali Imran [3]: 31)
Jadi, manfaatkan bulan Rabiul Awwal ini sebagai momentum untuk meneladani beliau.

(Buletin Studia – Edisi 053/Tahun 2)

Tidak ada komentar: