Posted in Buletin Studia Tahun I by abu fikri on the April 13th, 2007
Untuk?آ urusan membaca ini, sebenar-nya pemerintah pernah kebakaran jenggot, karena ternyata rakyat negeri ini termasuk yang paling parah dalam kebiasaan membaca dibanding dengan negara-negara di dunia, bahkan negara tetangga sekalipun. Memprihatinkan?آ memang. Kalau pun kabar terakhir masyarakat gemar membaca, termasuk remajanya. Ternyata kabar ini pun harus kembali membuat pemerintah dan juga sebagian masyarakat uring-uringan dibuatnya. Apa pasal? Jangan deg-degan dulu. Masyarakat sekarang memang doyan membaca media, termasuk membaca media lherrr alias yang bertaburan esek-esek.
Bagaimana tidak, seiring dengan dibukanya kran kebebasan pers selama era reformasi, bagai jamur di musim hujan, berbagai tabloid dan koran, pun nggak ketinggalan majalah muncul dan berlomba menggaet pembaca demi mendongkrak oplah. Tentu saja, di satu sisi iklim tersebut menumbuhkan suasana kondusif untuk membudayakan kegemaran membaca dan mendidik masyarakat menjadi lebih pintar. Tapi celakanya, situasi ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi jelas masyarakat jadi rajin membaca, dan sisi yang lainnya justru menikam akal sehat masyarakat pembacanya. Termasuk remaja macam kamu.
Weleh-weleh, getol sih bacanya. Tapi bacaannya itu lho, yang bikin deg-degan. Bila ini dibiarkan, tentu bakal timbul generasi piktor alias pikiran kotor.
Akhirnya, ternyata benar-benar bebas. Tak hanya media yang mendidik namun juga “mendidik” dengan caranya tersendiri. Saat ini, banyak media berbau pornografi yang berkibar bahkan menjadi bacaan paling gress. Tercatat beberapa media yang dicap sebagai media lherr seperti Liberty, Map, Pop, Popular, GG, X-Files dan sejenisnya. Belum lagi dari novel-novel kacangan yang so pasti bertabur kata-kata tak senonoh. Mungkin itu belum seberapa jika dibanding kecanggihan teknologi internet. Nah, bila kamu sudah ada yang gape di dunia cyber space itu, maka di jalur ini ternyata lebih menyeramkan. Wuih, gawat bener!
Untuk media-media yang mengekspos ketelanjangan wanita itu, tak tanggung-tanggung mereka bahkan mampu menyalip tiras media yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja, karena yang diemban adalah kebebasan yang kelewat batas dalam menampilkan isi dari majalah atau tabloid tersebut.
Yang perlu dicermati juga adalah kaum wanita. Mereka menjadi mata dagangan yang mampu menambang uang dengan cepat. Maka-nya, menurut logika super bejat ini adalah wajar bila kemudian memanfaatkan potensi yang dimiliki kaum hawa ini untuk tujuan bisnis.
Di Jakarta, menurut beberapa laporan yang dilansir harian ibu kota, ternyata pembaca paling banyak adalah remaja. Nggak peduli, apakah remaja cowok atau cewek. Mereka semua menikmati media yang dipenuhi artikel dan gambar-gambar ‘panas’ (bukan gambar kompor lagi nyala, lho!).
Ketika Sophia Latjuba dan majalah Popular “bekerja sama”, tiras majalah tersebut kontan melangit. Bahkan di beberapa tempat para loper merasa sangat senang. Karena tak perlu bersusah payah menjajakan, tokh majalah tersebut memang diburu orang. Ternyata menjual imaji ketelanjangan wanita mampu mendongkrak tiras majalah. Dan menjadi tambang uang yang menggiurkan.
Meski kemudian sebagian masyarakat protes, Sophia dan Popular mengeluarkan jurus pamungkas dengan berdalih, “Itu kan trik kamera.” Percaya? Tentu saja alasan tersebut adalah lagu lama yang jadi andalan selebriti untuk berkelit dari tuduhan bobrok! Ya nggak, Non?
Tak Sekadar Bacaan
Memang bacaan yang berkembang saat ini tak sekadar bacaan yang nggak ada pengaruhnya. Terbukti dalam?آ beberapa kasus bacaan tersebut mampu memicu masalah lain. Seperti sebuah surat pembaca dari salah seorang yang mengaku gay menanyakan bagaimana mendapatkan majalah Spartacus yang memang menjadi semacam wadah para gay untuk saling berkomunikasi, tanpa ragu-ragu pihak tabloid Map memberikan bocorannya, lengkap dengan alamat dan kover majalah tersebut (Map, Edisi?آ Juni 1999). Ckckckأ¢â‚¬آ¦ bahaya itu!
Akibat lain أ¢â‚¬â€meski tidak selalu berhu-bungan langsungأ¢â‚¬â€ bahwa bacaan dan gambar ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan gaya hidup masyarakat industri, adalah menjamurnya remaja yang bercita-cita menjadi model أ¢â‚¬â€yang tentu saja menjual imaji ke-telanjangan wanita. Kemudian mereka menjadi terbiasa dengan obrolan seputar seks tanpa tedeng aling-aling. Ya, selain populer juga dapat uang banyak tanpa harus berpikir keras.
Tabloid dan majalah yang menjual imaji ketelanjangan, juga mampu mengalihkan per-hatian pembacanya, khususnya remaja dari media sejenis yang telah ada sejak dulu, seperti novel-novelnya Fredy S, misalkan. Padahal di novel-novel tersebut menurut pengakuan seorang teman yang pernah membacanya, bertaburan kata-kata jorok bin porno.
Kamu nggak nyangka kan, kalau sekarang banyak teman-teman remaja yang menikmati media semacam itu. Banyak, lho. Malah bisa jadi itu adalah teman dekat kamu. Tak menutup kemungkinan. Karena begitu mudah didapat. Harganya? Semangkuk bakso! Murah, Brur!
Jadi, bacaan dan gambar yang dimuat dalam majalah seperti itu mampu menciptakan gaya hidup tersendiri bagi pembacanya. Khususnya remaja, yang memang masih labil kepribadiannya, kalau tak mau disebut miskin idealisme. Malah tak mustahil, dalam tataran tertentu bacaan semacam itu mampu menjadi self confidence builder alias pembangun rasa kepercayaan diri. Nggak percaya? Jangan dicoba.
Malah Brur, kini tidak saja menjamur media yang menjadi corong revolusi seks seperti itu. Kalo dulu remaja sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan dan membaca majalah atau buku-buku begituan, sekarang malah nggak perlu dicari ‘nyamperin’ sendiri. Selain jenis bacaan seks, kamu perlu juga tahu bahwa media yang mengusung ide-ide kebebasan lain telah banyak bermunculan. Penyebarluasan ajaran tukang sihir lewat media semacam Posmo atau Mistik dan sejenisnya harus diwaspadai. Tak mustahil akan menjadi wadah ‘curhat’ para pencinta mistik dan perdukunan. Kalo ini dibiarkan, bisa bahaya. Tentu, mengingat bahwa itu sekadar bacaan. Benar nggak Boy?
Perlu Pembenahan
Semua orang sepakat bahwa kebebasan pers yang tidak bertanggung jawab ini hanya akan menciptakan masyarakat pembaca kelas rendahan. Bahkan bukan tak mungkin bila kemudian kita menjadi The Dreamer Society alias masyarakat pemimpi. Persis sinetron-sinetron kita yang tak ‘membumi’ alias melulu menampilkan kehidupan glamour yang ‘melangit’. Padahal masyarakat kita kan justru banyak yang kere.
Menghadapi era globalisasi kebodohan ini tentu saja kita tak bisa hanya diam berpangku tangan. Sebagai remaja muslim, kita harus mampu menyikapi masalah ini أ¢â‚¬â€dengan bijak tentunya. Artinya, kita juga selain kudu selektif dalam memilih dan memilah bacaan, juga harus turut serta menciptakan suasana yang kondusif untuk mewujudkan remaja yang bersih. Bersih lahir bathin!
Kata orang bijak, lebih baik menyalakan sebatang lilin ketimbang terus menerus mengutuki kegelapan. Artinya, kita tak bisa hanya cukup mengutuk media yang memang menjual imaji ketelanjangan wanita, tapi kita juga harus berusaha untuk menyelamatkan diri kita dan juga teman-teman remaja yang lain. Tentu saja dengan mencari solusi yang jitu untuk “mematikan” media yang seperti itu.
Sebagai remaja, kita barangkali merasa bahwa bacaan yang bertebaran saat ini tak menjamin pemikiran kita bersih dari ‘virus’ berbahaya yang sengaja disebar pihak-pihak yang tak menyayangi remaja alias tak ber-tanggung jawab terhadap masa depan remaja. Bagaimana pun juga kita semua menyadari bahwa masa depan bangsa dan peradaban ini ada di tangan remaja.
Dengan perkembangan seperti ini, sepertinya remaja telah kehilangan bacaan yang menghibur dan mampu memberikan gambaran yang baik dalam aktivitas hidup kesehariannya. Tentu karena bacaan yang baik itu bukan hanya menghibur tetapi membawa muatan yang benar dan baik bagi pembacanya. Ironisnya, kini begitu sesak dengan media yang menjadikan seks, klenik dan ide-ide kebebasan sejenis sebagai komoditi. Dulu, barangkali remaja di tahun 80-an masih menemukan novel-novel yang ‘bersih’ dari keliaran seks seperti sekarang. Sebut saja misalnya ada novel remaja yang mengisahkan tentang pembauran antara etnis Cina dengan pribumi seperti pada kisah Cinta Bersemi di Seberang Tembok karya Bagin. Atau novel serupa karya Wahyu Dewanto dalam kisah Senandung Puncak Gunung. Dan tak ketinggalan novel remaja karya Andy Wasis yang mengisahkan Hen Nio gadis Cina yang lebih senang dipanggil Heni dan sudah merasa 100 persen orang Indonesia dalam kisah Setangkai Anggrek Putih. Terus terang saja, bacaan tersebut jauh dari eksploitasi seks secara liar seperti yang ada di media lherr saat ini. Kalau pun ada nggak sebebas sekarang. Kalo sekaran selain mudah diakses juga lebih ‘berani’.
Dulu di masa Rasulullah saw dan para Khulafa Ar Rasyiddin?آ menjalankan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni ketika Islam diterapkan sebagai sebuah ideologi. Masyarakat hanya disuguhi dengan?آ nilai-nilai Islam yang banyak bertebaran dalam kitab-kitab fiqih, kitab-kitab tarikh dan lain sebagainya. Yang intinya membina kepribadian kaum muslimin. Tersedia banyak kitab untuk membina hati kita seperti Minhajul Abidin karya Imam Ghazali, Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah. Atau tulisan-tulisan dalam buku Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu (terjemahan) karya Ibnu Qayim Al Jauziah yang bisa menjaga kesucian cinta kita, Sampai kitab fiqih politik seperti karya monumental Imam Al Mawardhi, Al Ahkamus Shulthaniyah. Kan itu bagus untuk menambah wawasan, apalagi buku-buku tersebut sekarang bisa kita dapati dengan mudah berkat jasa para penerjemah untuk memudahkan kita mempelajari. Betul nggak, Brur?
Namun kenyataanya? Wow, kebanyakan dari kita teryata masih doyan memelototi gambar-gambar porno dan bacaan-bacaan menyimpang dari nilai-nilai Islam. Sekali lagi, bila dibiarkan, tak mustahil bila kemudian menyebar cepat bagai virus untuk merusak pemikiran remaja kita. Bahaya bin gawat, Non!
Terus terang saja, selain masih sedikit media yang membawa bendera Islam, juga banyak faktor lain yang berhasil memalingkan remaja dari suasana islami. Kondisi masyarakat yang liberal. Gimana nggak liberal, masyarakat kita saat ini bebas nilai. Nggak peduli lagi apakah perbuatan yang dilakukannya sesuai ajaran Islam apa nggak. Yang ada dalam pikirannya adalah bisa atau tidak untuk dilakukan.
Derajat takwa individunya minim, tak mustahil kalo mudah goyah. Dus, ditambah fungsi negara sebagai pelindung berubah menjadi pemangsa. Idih, syerem amat!
Iya, gimana nggak serem, kewajiban negara kan melindungi rakyat, dengan perlindungan total. Bukan hanya lahiriahnya saja, tapi sekaligus pikiran dan jiwanya. Sebab kalo cuma dijamin bentuk fisiknya doang, sementara pikiran dan jiwanya kosong dari nilai-nilai ruhani, maka tak heran bila kita mudah mendapati orang pandai tapi bermoral bejat. Berabe, kan?
Nah, pemerintah harusnya mampu menjadi pelindung rakyat dengan menciptakan rasa aman. Aturan dan sanksi diberlakukan dengan tegas tanpa pandang bulu. Nggak kayak sekarang, amburadul bin kusut, Brur! Tapi inilah kapitalisme, bukan Islam. Kalo dalam Islam nggak bakal begini jadinya.
Sekarang Saatnya Media Islam!
Sangat disayangkan, media Islam saat ini tak tampil sebagai media alternatif di tengah maraknya bacaan yang bikin remaja dan juga orangtua gerah. Ironisnya, justru remaja Islam yang kena getahnya. Bahkan sebenarnya bukan saja kena getahnya tapi telah menjadi pengikut setia “sabda-sabda” yang dihembuskan media begituan.
Tak tanggung-tanggung, media khusus bagi remaja pun saat ini tak luput dari aroma seks dan imaji ketelanjangan. Sebut saja Hai yang barangkali menjadi trend setter majalah remaja pria tercatat beberapa kali menampilkan imaji ketelanjangan via edisi khususnya yang bertitel peringkat cewek terseksi. Bisa ditebak, majalah itu mampu menjadi penyalur gejolak nafsu remaja yang liar.
Dengan demikian, sekali lagi, bahwa bacaan tak sekadar bacaan an sich. Tetap saja pada prakteknya itu menciptakan trend tersendiri bagi pembacanya. Tentu saja ini dibutuhkan sikap yang serius dari pemerintah untuk mengerem atau bahkan bisa jadi memberangus media semacam itu. Kalau hanya dihimbau atau diseru agar masyarakat bisa memilih dan memilah media, itu sulit. Karena individu dalam sebuah masyarakat adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Bila masyarakatnya rusak, tentu saja individu yang baik-baik akan terpengaruh dan tak mustahil bila kemudian ikut amburadul.
Jadi, penyelesaian itu harus betul-betul menyeluruh. Pertama, memang harus ditanam-kan ketakwaan individu sebagai benteng lapis awal. Sehingga indvidu secara swadaya bisa menjaga dirinya. Namun ini pun harus didukung dengan sikap kontrol dari masyarakat yang harus mewaspadai setiap bacaan yang bakal merusak moral remaja. Mereka harus memiliki perasaan yang sama bahwa itu adalah media yang merugikan. Semuanya sepakat menyata-kan kesalahan bila hal itu memang salah. Dan rame-rame membenarkan bila memang hal tersebut memang benar.
Kemudian yang terakhir sebagai pilar yang mau tidak mau harus kuat adalah adanya peraturan dan sanksi dari negara sebagai pelindung individu dan masyarakat. Negara harus tanggap terhadap berbagai problem masyarakat dan kemudian tegas menjatuhkan sanksi. Jangan takut!
Nah, media Islam bisa menjadi teman sekaligus guru yang bisa membina dan mengarahkan pembacanya kepada kebenaran dan kebaikan. Bukan impian sebenarnya, bila kita mau mulai untuk menyadarkan mereka secara konsisten dan penuh kesabaran dan keberanian dalam mengungkap berbagai ke-maksiatan. Apalagi saat ini, maksiat telah menjadi komoditi dan sifatnya global.
Islam, sebagai alternatif pemecah kehidupan bisa dibangun melalui penanaman awal via media yang nantinya bakal melahirkan masyarakat terdidik, khususnya remaja macam kamu. Tentu saja dengan harapan, agar tak terulang kejadian tragis serupa seperti saat ini.
Jadi, selain selektif memilih dan memilah bacaan, peran masyarakat dan negara juga sangat dibutuhkan. Begitu, Bruru!
(Buletin Studia – Edisi 14/Tahun 1)
Jumat, 17 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar