Sabtu, 18 Juli 2009

Iklan di TV: Madu dan Racun

Posted in Buletin Studia Tahun kedua by abu fikri on the April 16th, 2007

Add to Technorati Favorites

Bicara soal tv kita nggak bakalan lepas dari pembahasan soal film dan acara lainnya. Semakin heboh dan keren acara yang ditayangkan televisi, kian ramai pula penontonnya. Dan itu berarti tambang uang bagi pengusaha untuk menarik pembeli lewat iklan. Walhasil, iklan merupakan masalah tersendiri bagi pemirsa televisi.

Iklan kini menjadi produk khusus dan dikemas dengan amat apik. Tujuannya sudah jelas, yakni untuk menggoda dan merayu calon pembeli terhadap produk yang ditawarkannya. Selain iklan yang dikemas secara khusus dalam durasi hitungan detik, malah iklan pun acapkali muncul dalam sebuah film, atau malah film itu sendiri yang bisa dijadikan ajang pasang iklan, tepatnya menciptakan tren. Mau tahu faktanya? Di Amrik sono, sebagian kalangan pernah merasa cemas ketika film seri Ally McBeal sukses, digemari para pemirsa televisi. Penampilan Calista Flockhart yang memang chic sebagai tokoh Ally McBeal dianggap terlalu kurus sampai seperti penderita anoreksia.

Sementara di lain pihak, para pemuja, terutama kalangan remaja, ingin meniru habis-habisan Ally McBeal, termasuk penampilannya yang kurus. Itulah soalnya. Banyak yang cemas, kalau generasi baru Amerika nanti seperti generasi yang cuma makan kentang goreng dan minum Coca Cola. Inilah remaja, yang emang mudah banget tergoda dengan rayuan iklan. Maklum, usia remaja adalah proses pencarian identitas? diri. Bagaimana dengan remaja di negeri ini? Kayaknya nggak jauh beda tuh. Sebab kalo dalam urusan gaya hidup mah remaja kita paling getol menjadi plagiator.

Kenapa iklan di televisi bisa begitu besar pengaruhnya? Sebab televisi adalah media pandang-dengar alias audio visual. Besar banget efeknya. Kalo kamu cuma liat iklan di koran atawa majalah, pengaruhnya nggak begitu kuat. Atau ketika denger iklan dari radio, itu juga nggak begitu heboh ketimbang iklan di televisi. Nah, ngeliat efeknya yang emang kuat itu, iklan kemudian disajikan dengan kemasan yang oke punya. Malah ide-ide yang diciptakan para copywriter dan visualiser iklan bener-bener bisa merangsang imajinasi kita. Berikutnya, kalo kita sampe tergoda untuk membeli produknya, berarti iklan tersebut emang sukses.

Masalahnya sekarang, nggak semua iklan itu mendidik. Malah banyak juga iklan yang tulalit alias nggak nyambung dengan produk yang ditawarkan. Misalkan, kita nggak habis pikir dengan iklan mobil atawa sepeda motor yang selalu menampilkan sisi “bahasa tubuh� wanita. Walhasil, porsi iklan yang mengeksploitasi wanita semakin membesar. Alasannya, konon kabarnya pemirsa menikmatinya dengan senang hati. Dengan begitu, maka wanita emang menjadi “madu� investasi alias tambang uang bagi sebuah industri kapitalisme.

Itu sebabnya, perlombaan menggaet pemirsa untuk membeli produk yang ditawarkan lewat iklan seperti menjadi suatu kaharusan. Sebab, kue iklan yang disajikan begitu besar porsinya untuk media massa elektronik. Sebagai contoh, tahun 1997 saja target belanja iklan untuk televisi sekitar Rp 2,7 trilyun. Dan sejak Januari sampai Mei 1998 TV swasta meraup sekitar 241 milyar perak (Kompas, 17 Juni 1998). Itu artinya, baru sekitar 9 persen saja diraih televisi. Bayangkan bila jumlahnya lebih dari itu. Bisa kamu hitung sendiri kan?

Itu emang data tiga tahun yang lalu. Namun demikian, belanja iklan dari ke tahun berkisar di angka itu. Tentu saja, bila kita melihat secara hitung-hitungan kasar aja, bisa menebak jatah pemasukan televisi lewat iklan emang tinggi, termasuk untuk anggaran tahun ini. Logikanya, media massa seperti televisi ini, memang hidup dari iklan. Itu sebabnya, stasiun televisi berlomba membuat berbagai program acara unggulan yang bakal menyedot perhatian pemirsa. Dan itu berarti mengeruk sebanyak-banyaknya kue iklan. Nggak peduli lagi apakah tayangan klip iklan itu kemudian bakal menjadi racun atau madu bagi pemirsanya. Faktor ini nggak terlalu menjadi soal bagi pengusaha stasiun tv, yang penting fulus, Brur, fulus.

Citra yang menyesatkan
Di tengah gencarnya propaganda gaya hidup yang membungkus perdagangan kapitalisme mutakhir, remaja juga terpaku perhatiannya kesana: rambut yang lurus seperti yang ditampilkan dalam iklan-iklan shampoo; kulit yang putih seperti disarankan iklan segala cream pemutih kulit; ingin perkasa seperti yang tawarkan iklan-iklan minuman berenergi, gaya hidup santai dan penampilan modis, bahkan dalam dunia profesional seperti dalam Ally McBeal; dan seterusnya.

Bila pengusaha iklan dan dunia industri televisi menganggap iklan sebagai madu, tapi tidak bagi pemirsa, iklan bisa berubah menjadi racun. Terutama tayangan iklan yang memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian pemirsanya, khususnya anak-anak dan remaja. Akhirnya, nggak sedikit yang kemudian menjadi korban iklan.

Parahnya lagi, pengelola televisi berani menayangkan iklan yang bermasalah di saat prime time (waktu utama) yakni antara jam tujuh malam sampai jam sembilan malam. Dan itu berarti semua lapisan pemirsa menyaksikannya tanpa kecuali, termasuk anak-anak. Sebab Iklan yang menyelingi acara televisi itu kacau bin parah banget. Walhasil, saat kita menonton televisi sering diselingi dengan iklan-iklan obat kuat, minuman berenergi, dan maaf, iklan pakaian dalam dst. Dan, seperti melengkapi kerusakannya, iklan tersebut dikemas dengan amat berlebihan.

Brur, kayaknya dalam iklan juga telah terjadi penekanan terhadap pentingnya kaum perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sikap kewanitaannya secara biologis. Seperti memiliki waktu menstruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut lurus yang panjang (iklan shampo). Selain itu, iklan televisi juga memberikan pencitraan maskulin, yakni mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin.

Iklan model begitu sudah banyak banget. Berdesakan mempengaruhi pikiran kita. Sekaligus iklan-iklan yang ada ini menjungkir-balikkan aturan yang telah dibuat Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I). Lembaga ini telah menyusun dan menyepakati berlakunya Tata Krama Periklanan Indonesia. Misalnya, pada Bab IV, “Hubungan dengan Konsumen� pasal 7 disebutkan: setiap iklan harus menjunjung tinggi kesopanan, kejujuran, dan kebenaran yang disampaikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang benar.

Lebih jelasnya, pasal tersebut yang menekankan pada kesopanan, kejujuran, dan kebenaran sebagai berikut: a) kesopanan: dalam hal ini iklan tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan atau ilustrasi yang merusak tata sopan santun masyarakat, tidak boleh menimbulkan rasa takut, jijik dan sebagainya; b) kejujuran: dalam hal ini tidak boleh mensalah-gunakan atau memanipulir batas-batas kepercayaan, kekurangan pengetahuan dan pengalaman konsumen; c). kebenaran: dalam hal ini iklan tidak boleh memperdayakan konsumen melalui penyajian yang dapat disalah-tafsirkan yang berarti menyesatkan konsumen.

Khusus pasal 10 Tata Krama Periklanan Indonesia ini tentang anak-anak dan remaja. Disebutkan, iklan-iklan yang ditujukan kepada kelompok anak-anak dan kaum remaja hendaknya: a) tidak mengandung pernyataan serta ilustrasi yang dapat merusak pertumbuhan rohani serta jasmani mereka; b) tidak memberikan harapan yang berlebihan kepada mereka yang menderita fisik maupun mental.

Namun apa yang terjadi? Pasar anak-anak dan remaja ini adalah pasar gemuk alias potensial. Makanya, iklan untuk segmen ini bejibun banget. Iklan permen, chiki, es krim, minuman ringan, coklat, kosmetik, pasta gigi, sampai pakaian selalu hadir dan menggoda remaja dan anak-anak untuk komsumtif. Iklan televisi menjadi sarana untuk menikmati mimpi-mimpi indahnya. Walhasil, semua mimpi ditawarkan televisi lewat iklan, film, dan acara-acara lainnya. Ibaratnya, televisi sudah menjadi ortu kedua bagi remaja dan anak-anak.

Tidak mengherankan bila kehangatan keluarga yang dulu bisa berlangsung di ruang keluarga, kini sudah digantikan televisi. Dan di Indonesia, televisi sudah menjadi bagian dari ruang tamu kita semua, Brur. Maka, pertama-tama bila kita menatap furniture yang ada di rumah, maka yang tersentuh pertama kali adalah di mana akan menata televisi. Karena itu, kini ada guyonan. Ingatan kehidupan hanya ada dua. Pertama, rumah tempat tinggal kita, dan kedua, televisi kita. Karena itu, televisi menjadi penting bagi dunia anak-anak itu sendiri. Mengingat televisi tidak bisa dimatikan, maka televisi adalah ensiklopedi baru bagi anak-anak masa kini. Televisi merupakan jendela untuk masyarakat melakukan urbanisasi. Apalagi dalam suatu masyarakat yang bergerak dari budaya pracetak, cetak, lalu radio, dan televisi. Tahapan gerakan budaya itu tidak dalam satu tahap linear, tetapi melompat-lompat luar biasa. Waduh, heboh banget, ya?

Wina Rini Wilman, Phd, pengajar psikologi perkembangan anak dan psikologi keluarga di Universitas Indonesia mengatakan, bahwa bagi remaja, teman-teman di dalam kelompok (peer group) memang sangat menentukan. Mereka inilah yang berpengaruh pada para remaja ini, yang umumnya sedang belajar untuk independen dari orangtuanya. Proses pencarian identitas diri berikut usaha untuk independen itu menjadikan mereka rentan terhadap berbagai pengaruh lingkungan, termasuk iklan yang menggambarkan bahwa cantik itu penting dalam pergaulan, atau pula digambarkannya citra kecantikan dengan ukuran tertentu seperti kulit putih, rambut lurus, dan semacamnya. Pengaruh iklan ini bukan terbatas pada iklan-iklan dari produk yang memang dikhususkan bagi remaja, namun juga produk-produk lain, yang meski bukan produk untuk remaja tetapi menggunakan model remaja. Propaganda untuk hal-hal seperti ini semakin gencar sekarang, berbeda taruhlah dibanding sekitar 15-20 tahun lalu (Kompas, 18 Februari 2001)

Pola hidup sederhana
Brur, iklan televisi telah menawarkan segala mimpi dan menciptakan masyarakat konsumtif. Gimana nggak, kita dibuat sulit untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sebab, masyarakat kapitalistik sengaja menciptakan kerancuan ini. Mereka mencari cara bagaimana mengubah imej keinginan menjadi kebutuhan. Padahal itu adalah dua sisi yang berbeda. Keinginan tidak sama dengan kebutuhan. Sebab, keinginan adalah harapan yang tidak mesti untuk dipenuhi. Atau dengan kata lain, keinginan tidak bakal menyebabkan kita menderita bila tidak terpenuhi. Tapi kebutuhan, jelas bisa menyebabkan pengaruh besar kepada kita. Dengan kata lain, kebutuhan mutlak untuk dipenuhi. Utamanya kebutuhan primer.

Ketika ada iklan yang menawarkan baju bermerek dan modelnya oke punya, tentu aja urat-urat keinginan kamu ditarik-tarik untuk segera membelinya. Padahal kamu sudah punya baju merek lain yang nggak kalah kualitasnya. Namun karena tergoda rayuannya, akhirnya kamu beli juga baju itu. Itu namanya, kamu nggak bisa membedakan antara keinginan dengan kebutuhan.

Kita udah sering liat iklan produk televisi dengan beragam kualitas dan spesifikasi. Padahal, intinya sama, yakni televisi. Tapi masih juga dihadirkan dalam bentuk televisi flat (layar datar), kualitas tata suara, ukuran, kejernihan gambar, dan lain sebagainya. Pokoknya merangsang pemirsa untuk tanpa sadar membelinya. Produk lemari es aja begitu bervariasi. Nggak cukup menggoda pemirsa dengan model satu pintu, dibuatlah produk dua pintu dengan iklannya yang heboh. Masih belum cukup menarik pembeli? Dikeluarkan produk teranyar dengan ukuran yang jumbo menyamai ukuran kamar tidur. Iklannya pun sudah pasti dibuat sedramatis mungkin.

Iklan lain pun berjubel mendatangi kita tanpa bisa ditolak lagi. Lama-lama kita jadi terbius untuk bergaya hidup konsumtif. Karena memang kita udah dikondisikan dengan budaya tersebut. Jadi, batas antara keinginan dengan kebutuhan menjadi kabur alias sulit dibedakan. Karuan aja, ini menyimpan masalah besar, Brur. Pada level tertentu kita menjadi orang yang gandrung dengan iklan dan akhirnya menjadi pasar empuk untuk produk-produk perdagangan kapitalistik. Pola hidup sederhana merupakan barang langka bagi keluarga muslim saat ini. Yang ada dalam benak masyarakat kita sekarang adalah bagaimana meraih sebanyak-banyaknya kenikmatan duniawi.

Makna kebahagiaan pun telah berubah, yang seharusnya tercapainya ridho Allah Swt. menjadi banyaknya materi yang berhasil dikoleksi. Padahal, kenikmatan materi itu akan lenyap. Firman Allah Swt.:

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.� (QS an-Nahl [16]: 96)

Sabda Rasulullah saw.:�Siapa yang hasratnya adalah dunia, maka Allah mencerai-beraikan urusannya, membuatnya takut terhadap harta kekayaannya, menjadikan kefakiran tampak di depan matanya, dan sebagian dari keduaniaan tidak datang kepadanya melainkan yang sudah ditetapkan baginya. Siapa yang hasratnya adalah akhirat, maka Allah menghimpun hasratnya, menjaga hartanya, menjadikan kekayaan ada di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan yang hina.� (HR Ahmad, ad-Darimy, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

Namun Brur, pola hidup sederhana bukanlah akhir dari segala solusi. Sebab bila masyarakat dan negaranya masih getol memelihara budaya konsumtif, bukan mustahil keteguhan pola hidup sederhana dari individu ini akan jebol juga. Jadi, kita pun kudu mengubah masyarakat dengan Islam. Caranya? Tanamkan pemahaman Islam sebagai sebuah ideologi

(Buletin Studia – No.051/Tahun 2)

Tidak ada komentar: