Posted in Buletin Studia Tahun kedua by abu fikri on the April 16th, 2007
Dewi Hughes, presenter bertubuh subur dengan gayanya yang khas kerap muncul membawakan acara Angin Malam-nya RCTI. Sebuah acara yang dikemas secara live dengan tema-tema yang sedikit nyerempet (mobil kali?). Maksudnya tema-tema yang kerap dihadirkan nggak jauh dari urusan perilaku seksual atau yang bernuansa seks.
Biasanya, acara yang ditayangkan tiap hari Sabtu jam setengah dua belas malam ini menghadirkan narasumber dari kalangan psikolog. Sebab, acara ini emang banyak menyoroti perilaku manusia. Kemudian sebagai tamunya, biasanya dari kalangan seleb yang udah beken di kalangan pemirsa.
Tema acara sebenarnya menarik, dan awalnya mungkin ditujukan untuk membahas persoalan yang cukup dekat dengan kehidupan di masyarakat. Namun sayangnya tidak diikuti dengan pesan dan penyelesaian yang benar. Soalnya, acara yang disiarkan langsung dari lantai 6 Hotel Indonesia ini tidak memberikan solusi apa pun di akhir acaranya.
Celakanya lagi, acara ini seperti diset untuk melegalkan aktivitas yang sedang dibahas. Buktinya, meskipun selalu menghadirkan narasumber, namun pemirsa sengaja “diikat� pikirannya untuk menerima kesimpulan apa adanya. Malah Hughes wanti-wanti banget supaya pemirsa yang akan memberikan saran nggak boleh menurut aturan agama alias jangan menilai dari sudut pandang agama. Wah, gimana urusannya?
Nah, itulah parahnya, acara ini nggak ada bedanya dengan legalisasi atas kerusakan. Kenapa? Soalnya, tema yang diusung sebetulnya menarik bila kemudian dikritisi dengan pandangan agama, khususnya Islam. Tapi yang terjadi kan nggak. Jelas ini bermasalah. Sebab, tema yang dihadirkannya menyangkut problem kehidupan. Kalo agama nggak boleh mensikapi, lalu buat apa ngebahas masalah tersebut? Iya nggak? Padahal, obrolan itu dalam rangka mensikapi perilaku yang menyimpang. Misalkan, pernah mengangkat tema transeksual (“pindah� jenis kelamin) dan? homoseksual (gay dan lesbian). Dalam pandangan Islam, tentu saja ini tidak dibenarkan, sebab itu termasuk aktivitas yang melanggar syariat dan jelas ada sanksinya bagi yang melakukan perbuatan tersebut.
Contoh kasus, pada penayangan tanggal 5 Mei 2001, dibahas tentang homoseksual, khususnya lesbian. Dengan narasumber dari psikolog, bintang tamunya Ersa Mayori dan Cut Mini. Setelah ngomong ngalor-ngidul seputar lesbian ini, kesimpulannya diserahkan kepada masing-masing individu (baca: pemirsa). Alasannya, faktanya sudah ada dan banyak yang melakukannya. Kalo pun masyarakat sampai saat ini tidak bisa menerima kehadiran dari penyimpangan seksual itu, disarankan bagi yang merasa “mengidap� homoseksual untuk tidak mengeksposnya. Maksudnya jangan terang-terangan. Wah, inilah jadinya bila urusan kehidupan diserahkan kepada manusia. Berantakan, Brur! Padahal dalam pandangan Islam, kasus homoseksual ini kudu diberi sanksi karena melanggar syariat (lengkapnya kamu baca kembali Studia edisi 022/Tahun I).
Sampah dong acara itu? Bolehlah kita bilang begitu. Sebab, lucu dan menggelikan tentunya. Suer, naif banget kan bila kita bicara kriminalitas, tapi nggak boleh bicara hukum? Itu namanya orang yang punya masalah tapi nggak mau menyelesaikan dengan tuntas. Dengan begitu, yang dicari bukan kebenaran, tapi pembenaran dari masalah yang sedang dibahas. Heran, kenapa bisa begitu, ya? Brur, alasannya, kerap kali orang jaman sekarang ini menggunakan tameng HAM alias Hak Asasi Manusia untuk melegalkan aktivitas bejatnya. Wah, wah, wah, amburadul banget.
HAM: Senjata untuk maksiat
Sadis banget nuduh begitu? Kita nggak nuduh, Non. Soalnya, faktanya kan emang begitu. Remaja sekarang, udah pandai berdalih untuk urusan gaya hidupnya. Itu emang nggak lepas dari pola kehidupan yang sudah menjasad dalam dirinya. Bayangin, dari mulai kita melek sampai saat ini, kita terbiasa hidup dengan aturan Kapitalisme yang dominan banget dalam kehidupan kita. Seolah kita nggak punya pilihan lain dalam mengatur kehidupan ini. Walhasil, bagi yang pikirannya buntu, udah aja menelan mentah-mentah aturan dalam kehidupan ini. Tapi bagi yang sedikit kritis namun bokek dalam urusan keimanan dan ketakwaan, awalnya bisa jadi doi risih juga, tapi karena nggak ada pilihan, akhirnya mau juga. Ibarat kita masuk WC, awalnya kan misuh-misuh juga dengan baunya yang bikin enek, tapi karena butuh, akhirnya tiap hari didatengin. Iya nggak?
Ngomong-ngomong soal HAM, kita perlu membongkar apa sih yang diinginkan dari pembuatnya? Kamu wajib tahu juga dong. Dalam pandangan sistem Kapitalisme, yakni sistem yang berlandaskan pemisahan antara agama dengan politik (kehidupan), hak individu sangat dijunjung tinggi, bahkan oleh negara sekalipun. Seseorang dibiarkan untuk melakukan apa saja. Permisif alias serba boleh banget. Pokoknya terserah berbuat apa pun sesuka hatinya. Dan itu nggak ada sanksinya, kecuali bila tindakannya merugikan orang lain.
Kok bisa begitu ya? Kamu jangan heran bin aneh, sebab sistem ini—yang sekarang mengatur kehidupan kita—memang buatan manusia. Bayangin aja, masak agama dipisahkan dari politik (kehidupan). Ini jelas nggak wajar. Itu artinya, agama nggak boleh mengurusi problem kehidupan manusia. Dengan kata lain agama nggak boleh ikut campur dalam menata kehidupan. Itu sebabnya, agama cukup diterapkan oleh individu sebatas urusan ibadah ritual. Untuk masalah sosial, ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, peradilan, dan hukum diserahkan kepada penguasa dengan aturan buatan manusia. Inilah jalan kompromi yang kemudian melahirkan sistem rusak ini.
Brur, ada empat ide pokok dalam HAM. Semuanya bicara tentang kebebasan.
Pertama, kebebasan berakidah (beragama). Nah, ide ini menurut pembuatnya, menyatakan bahwa setiap orang boleh memilih untuk beragama atau tidak. Kemudian, boleh juga berpindah-pindah agama sesuka hatinya. Kacaunya lagi mereka menggunakan ayat al-Quran seperti, firman Allah Swt.:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);� (QS al-Baqarah [2]: 256)
Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan berbuat demikian. Dan sebenarnya ayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk beragama atau tidak. Karena ayat itu ditujukan kepada orang-orang kafir. Mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam. Tapi bila seseorang sudah masuk Islam, maka ia harus tunduk dan patuh pada aturan Islam, termasuk tidak dibenarkan keluar dari Islam. Sabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang mengganti agama (Islam)-nya, maka bunuhlah dia.� (HR, Ahmad, Bukhari, Muslim, Asshhabus Sunnan)
Nah, kalo sekarang? Pindah agama aja nggak dipersoalkan. Jangankan gitu, seorang muslim pun gaya hidupnya sudah tidak mencirikan identitas islami lagi. Kacau kan? Inilah rusaknya HAM. Mentang-mentang atas nama HAM, akhirnya boleh berbuat sesukanya. Nggak peduli kalo itu bertentangan dengan Islam.
Kedua, ide kebebasan berpendapat. Dalam pandangan sistem kapitalisme, itu berarti setiap orang boleh ngomong apa saja dan dari sudut pandang apa saja. Bebas merdeka untuk ngomong atau ngelakuin sesukanya, nggak boleh ada yang ngerecokin. Nafsi-nafsi alias individualis.
Namun meski demikian, ini sering terjadi anomali alias? keanehan. Buktinya dalam kasus “Angin Malam� ini, meski katanya demokratis, tapi kita nggak boleh berpendapat atas nama agama. Ya, itulah salah satu anomali demokrasi yang emang bobrok bin bejat. Oya, demokrasi itu sendiri adalah cara mereka bernegara atau istilah kerennya demokrasi adalah format politik standar dari sistem Kapitalisme dalam mengatur pemerintahannya.
Ketiga, kebebasan bertingkah laku. Nah, ini dia. Kebebasan bertingkah laku ini udah amat tertanam dalam perilaku kaum Muslim, terutama remajanya. Buktinya, kita sering menyaksikan teman-temen remaja yang udah nggak peduli lagi dengan aturan agama. Contohnya, dalam urusan makanan aja teman remaja kadang ada yang nggak peduli dengan halal dan haramnya. Main gares aja. Begitu pun dengan dandanan, sebagian besar remaja memilih pakaian sesuai seleranya. Nggak peduli syariat Islam, yang penting modis dan trendi. Liat aja, banyak remaja putri Islam yang udah putus urat malunya dengan berdandan ala kadarnya; bikini, tang-top, swimsuit, dan model dandanan yang memberikan peluang kaum Adam untuk ngejailin.
Nah, termasuk dalam urusan tingkah laku ini adalah kasus gay dan lesbian. Orang mau jadi gay, lesbi, pelacur, bandit, perampok, atau mau selingkuh nggak boleh ada yang ngerecokin, terutama dilarang keras bicara atas nama agama untuk mensikapi persoalan ini. Ya, seperti format acara Angin Malam itu. Masalah dibiarkan mengalir tanpa ada penyelesaian. Dan agama terlarang untuk ikut campur dalam persoalan ini. Rusak berat kan, Brur?
Keempat, adalah kebebasan pemilikan. Ini juga sangat berbahaya, Non. Kalo kamu merhatiin masalah di sekitar kehidupan kamu, pasti bakal geleng-geleng kepala (bukan triping, lho). Kenapa? Kamu tahu hutan kan? Nah, hutan dalam pandangan Islam adalah milik umum yang dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun apa yang terjadi? Ternyata hutan udah dikavling-kavling untuk para konglomerat. Salah satunya si “Raja Hutan� Bob Hasan yang kini jadi warga Nusakambangan.
Untuk persoalan yang lebih dekat dengan kehidupan kamu, bisa ambil contoh tentang kebebasan orang untuk memiliki harta. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa minggu yang lalu ada sekelompok pelajar Jakarta yang membajak bis dan menodong penumpangnya serta menguras harta benda mereka. Terus, judi kecil-kecilan juga kerap dilakukan sebagian besar temen remaja. Padahal, judi itu kan termasuk cara mencari harta dari jalan yang nggak bener. Tentu aja harta yang dimilikinya jadi haram. Dan itu emang dilarang dalam Islam.
Inilah rusaknya HAM sobat. Makanya nggak salah-salah amat kan kalo kita bilang bahwa HAM adalah senjata untuk berbuat maksiat. Soalnya, banyak temen-temen remaja ketika berbuat bejat berlindung di balik HAM. Terus terang kita prihatin banget dengan kejadian ini. Lalu apa yang bakal kita perbuat?
Bertahan dan menyerang
Idih, kayak strategi sepak bola aja? Brur, emang ini yang kudu kita lakukan. Bertahan artinya, jangan mudah tergoda dengan paham ini. Soalnya gimana pun juga, permisivisme alias paham serba boleh dalam berbuat jelas merupakan ide yang bertentangan dengan Islam. Sebab Islam mewajibkan bagi setiap Muslim untuk terikat dengan syariat Islam ketika berbuat. Nah, berarti bertahan di sini maksudnya adalah tidak kepincut untuk melakukan perbuatan maksiat. Caranya gimana?
Oke, kamu kudu mengisi pikiran dan perasaan kamu dengan ajaran Islam. Teknisnya, kamu kudu sering bergaul dengan segala bentuk produk Islam. Bisa dari bacaan, artinya kamu kudu sering baca media Islam, contoh buletin kesayangan kita ini (nggak nyombong, lho). Terus kamu juga deketin tuh temen-temen yang emang udah duluan kenal Islam, kuras semua ilmu dalam dirinya. Selain itu, kamu juga bisa aktif hadir di acara yang bertemakan Islam; entah seminar, pengajian umum, atau di majlis taklim dan masjid. Dan sebagai patokannya, kamu jangan memahami Islam sekadar informasi belaka, tapi kamu kudu jadikan Islam sebagai pemahaman. Artinya, Islam bukan sekadar teori belaka, tapi ada aspek amaliahnya. Bahasa kerennya, Islam kudu dipahami sebagai akidah dan syariat alias ideologi. Sekali lagi, ideologi.
Insya Allah dengan taktik ini, kita bisa bertahan dari godaan paham permisivisme ini. Tapi ingat kawan, bertahan juga ada batasnya. Lama-lama bisa berantakan kalo terus-terusan dibombardir. Iya nggak? Itu sebabnya ada taktik untuk menyerang juga. Kita harus melawan paham ini. Caranya? Kita pahami dulu setiap ide yang berkembang di tengah masyarakat dengan kunti alias tekun dan teliti, lalu kita sikapi dengan sudut pandang Islam. Kalo ide itu rusak, ya kita serang. Sekuat kemampuan kita.
Inilah yang termasuk amar makruf nahyi mungkar. Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka dia hendaklah mencegah kemungkaran itu dengan tangannya, yakni dengan kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah dicegah dengan lidahnya. Kemudian kalau tidak mampu juga, hendaklah dicegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman” (HR. Bukhari- Muslim. CD-al-Bayan hadits no. 32)
Oya, karena masalahnya besar, maka nggak bisa dong kita berjuang sendiri-sendiri. Harus berjamaah dan kompak. Sebab, percuma banyak juga kalo jalan masing-masing. Bisa malah tambah berabe. Iya nggak?
Itu sebabnya kita harus menggalang kekuatan dalam melawannya. Inget, Brur, ide permisivisme ini bukan hanya ditebar lewat acara Angin Malam aja, tapi udah banyak di acara lain, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita udah sering menjumpainya. Duh, merana banget hidup dalam sistem Kapitalisme ya? Jelas. Oleh karena itu, mari kita perjuangkan penerapan Islam sebagai akidah dan syariat.
Dengan begitu, paham serba boleh (permisivisme) ini nggak bakalan ada lagi dalam kehidupan kita. Negara akan memberangusnya tanpa ampun. Akhirnya, hanya Islam yang jadi patokan dalam kehidupan kita. Beres!
(Buletin Studia – No.050/Tahun 2)
Sabtu, 18 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar